Sunday 19 July 2009

CH.5 "Amo et Facio Quod Volo" (Panggilan Hidup 2)

Sering kali orang memasrahkan jalan hidup nya kepada waktu, “waktu akan menjawab segalanya, waktu akan membantu melupakan segalanya, waktu akan memulihkan segalanya… waktu… waktu… waktu.” Bagi orang yang percaya kepada Tuhan, kenapa tidak kita percayakan hidup kita kepada Tuhan? Saya jadi ingat dengan seorang sahabat saya, dia bilang “Faith without questioning.” Percayalah kepda Tuhan kalau rancanganNya adalah rancangan yang penuh kebahagiaan dan bukan kehancuran.
Setelah lulus dari Universitas Atmajaya, saya dipanggil untuk bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta selama 2 tahun. Saya bekerja sebagai Broadcast network engineer. 80% waktu saya dihabiskan untuk bekerja di lapangan. Dari awal ketika wawancara, interviewer sudah mengingatkan saya kalau pekerjaan saya itu berat dan lebih sering traveling. Tanpa ragu saya bilang, itu yang saya ingin kan. Ya, benar juga. Selama itu saya menikmati pekerjaan tersebut meskipun dengan suka duka dan luka juga, namun cukup menyenangkan. Dari 2 tahun pengalaman kerja ini, saya mulai mengerti, paling tidak bagi diri saya sendiri, apa artinya sebuah panggilan bagi hidup saya. Ketika saya menyenangi dan mencintai apa yang saya lakukan meskipun apa yang saya lakukan itu terkadang tidak menyenangkan saya, sulit dan terkadang membuat saya menderita... saya merasa itu adalah panggilan hidup saya. 2 hal pokok yang membuat saya yakin akan buah pikiran saya ini. Pertama, Tuhan tidak pernah memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan manusia dan yang kedua rancanganNya, adalah rancangan yang penuh suka cita. Rasa senang dan cinta terhadap sesuatu itu sangat sulit dibangun apa lagi jika sesuatu tersebut tidak punya potensi sama sekali (i.e. tidak menyenangkan hati kita). Meskipun saya seorang engineer di sebuah perusahaan, saya juga punya panggilan yang sama dengan seorang imam. Saya yakin Tuhan menginginkan saya untuk menjadi engineer yang baik sama seperti Dia menginginkan seorang imam untuk menjadi imam yang baik. Selama kita menjalani panggilan itu, terkadang kejenuhan merupakan rintangan yang cukup besar. Tidak hanya kejenuhan saja namun pengaruh dari luar seperti ikut-ikutan teman untuk pindah ke profesi lain karena lebih menghasil kan banyak uang. Semua itu merupakan sebuah proses pemurnian panggilan hingga akhirnya seseorang yang terpanggil itu bisa menjadi yang terpilih.

CH. 4 “Panggilan hidup”

Selulusnya saya dari SMU saya melanjutkan study saya ke seminari menengah di Mertoyudan (Magelang). Teman-teman saya banyak bertanya, “Kenapa melanjutkan ke seminari ?” Mungkin aneh bagi mereka untuk tidak menikah dan memilih jalan hidup yang mungkin buat orang awam itu “tidak enak”. Ya, tetapi saya akhirnya masuk seminari pada tahun 2000. Di tempat itu saya belajar banyak hal, mulai dari belajar untuk membagi waktu, dan menjadi pribadi yang seimbang. “SSS” itu adalah semboyan dari seminari Petrus Canisius Mertoyudan. Sanctitas, Sanitas dan Scientia. Setelah dari seminari menengah saya melakukan solisitasi (melamar ke sebuah tarekat) ke MSC (Misionaris Sacrosanctum Cor Iessu). Setelah melewati beberapa wawancara yang harus saya lakukan di Purwokerto, akhirnya saya di nyatakan lulus dan menjadi salah satu dari anggota dari terekat MSC. Kemudian saya berangkat ke Manado untuk menjalani pendidikan imam sebagai pra-novis (pendidikan sebelum menjadi anggota baru). Waktu menjalani pendidikan di Manado, saya sering kali terbebani oleh keadaan orang tua saya… bagai mana tidak, saya masuk ke seminari sebenarnya bukan atas persetujuan orang tua, mungkin orang tua saya memaksakan diri untuk setuju dengan keputusan saya. Sewaktu saya meminta ijin untuk masuk ke seminari menengah, saya sempat berselisih dengan kedua orang tua saya. Ya, tentu saja orang tua saya tidak mengijinkan saya, anak laki-laki pertama dalam keluarga, untuk menjadi seorang imam. Di benak mereka, anak laki-laki pertama harus menjadi penerus keluarga. Tetapi, saya memaksakan kehendak saya untuk masuk ke seminari. Akhirnya orang tua saya setuju, saya ingat sekali waktu itu, papa saya yang angkat bicara terlebih dahulu sedangkan mama saya tak henti-hentinya mengeluarkan air mata... “Terserah kau lah, asalkan kau bahagia, papa dan mama juga bahagia” namun mereka tetap meneteskan air mata.
Gambaran itu ternyata terbawa jelas meskipun saya sudah mau menerima jubah putih untuk menjadi seorang frater. Sering kali, untuk mengkompensasi rasa khawatir saya terhadap mereka, saya menelpon mereka setiap bulannya. Tetapi, ketika itu juga saya menangkap sebuah warna suara yang melukiskan kesedihan meskipun ketika saya bertanya apakah mereka baik-baik saya, mereka menjawab baik-baik saja. Ketika saya harus memutuskan untuk lanjut atau tidak ke tingkat novis dimana saya akan menjadi seorang frater dan menerima kaul sementara, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan ke novis.
Panggilan hidup seseorang adalah panggilan hidupnya bila dia memilih dan mejalaninya dengan suka cita. Panggilan itu tidak hanya menjadi selibater namun panggilan juga bisa berarti menjadi seorang awam yang menikah atau bisa juga tidak menikah… Panggilan hidup seseorang juga bisa merupakan profesinya. Panggilan adalah kehendak Tuhan atas kita. Seorang raja dan seorang tukang sapu mempunyai panggilan yang sama hebat dan sama beratinya di mata Tuhan. Namun demikian panggilan itu tidak semata-mata hanya dari Tuhan dan mutlak. Kita juga di berikan kehendak yang bebas olah Nya untuk memilih. Dalam memilih pun kita perlu memperhatikan banyak aspek. Paling tidak, dari pengalaman saya, saya mendapati panggilan itu di sokong oleh 4 kaki. Kaki yang pertama adalah Tuhan, yang kedua adalah diri kita, yang ketiga adalah orang tua dan yang keempat adalah orang-orang di sekitar kita. Kaki yang pertama lebih kepada kehendak Tuhan. Tuhan memberikan pilihan-pilihan kepada kita, dan Dia selalu memberikan pilihan yang terbaik untuk kita meskipun bukan yang menyenangkan buat kita (pada saat itu). Untuk mengetahui kehendaknya atas diri kita, kita boleh bertanya padaNya. Dia tidak sejauh yang kita pikirkan karena dia hanya sejauh doa. Kaki yang kedua adalah pilihan kita. Kehendak bebas yang di tawarkan oleh Tuhan kepada kita membuat kita mampu memilih jalan hidup kita. Setiap pilihan mempunyai resiko masing-masing. Tidak jarang apa yang kita pilih kerap kali berselisih dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Apa yang kita pilih hanya berdasarkan pertimbangan manusiawi kita. Enak atau tidak enak, nyaman atau tidak nyaman, menguntungkan atau merugikan. Kita mungkin tidak mengerti apa yang tengah terjadi sewaktu kita memilih bahkan tidak mengerti apa yang akan terjadi setelahnya. Kaki yang ketiga adalah dukungan atau restu dari orang tua. Dukungan dan restu dari orang tua sangat penting dalam menjalani sebuah panggilan hidup. Selama 9 bulan, mama mengandung kita dan setelah kita lahir papa mencari nafkah untuk membesarkan kita. Tanpa adanya kerelaan hati dari orang tua apakah kita bisa terus menjalaninya ? Tegakah kita ? Kaki yang keempat adalah orang-orang di sekitar kita. Orang-orang yang mencintai kita, pacar, sahabat, maupun teman-teman kita.
Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan dan memutuskan untuk mundur karena panggilan saya tidak mempunyai kaki yang lengkap. Saya tidak mempunyai kaki yang kedua. Akhirnya saya di panggil oleh romo moderator untuk berbicara dan mengumumkan pengunduran diri saya di misa pagi. Sewaktu nya saya maju, beberapa teman seperjuangan saya Yan (masih menjadi frater di MSC sampai saat ini) dan Antony sempat sedih dan marah ketika saya tidak memberitahukan keputusan saya kepada mereka. Saat itu juga komunitas pra-novis cukup heboh karena saya dikenal sebagai seminarist yang teguh, berpendirian dan tidak mempunyai masalah dalam kerohanian. Namun itulah pilihan saya saat itu. Setibanya saya di Jakarta, saya sempat menyesal karena saya keluar dari seminari dan mencoba mendaftar lagi ke SVD. Namun cece (Cicil) saya menyarakan saya untuk melanjutkan study dulu di Universitas Atmajaya lalu setelah selesai baru kemudian melanjutkan lagi ke seminari. Dengan alasan bila suatu saat nanti klo saya tidak lagi niat menjadi imam, saya masih punya gelar. Saya akhirnya melanjutkan study di Atmajaya. Dan menyelesaikan pendidikan di sana selama 3 tahun. Setelah selesai, saya berbincang-bincang dengan adik saya, Edo. Perbincangan yang cukup dalam. “Do, kalau gue masuk seminari lagi gimana ?” kata saya. Dia hanya berkata “Ya, terserah lu. Emang panggilan lu masih ke sana ?” Lalu tentu saja saya menjawab “Ya, iya.” Setelah itu kita terdiam sekitar 5 menit. Setelah itu Edo mulai mengangkat pembicaraan yang tentu saja membuat saya cukup berpikir kembali… “Kalau buat gue, paggilan itu bukan seperti ada suara dalam hati lu… seperti ada yang manggil-manggil lu untuk masuk seminari, tapi lebih kepada hal yang lebih dari pada itu. Selain itu juga percuma kalau lu mau masuk seminari cuman karena ‘pelarian’ dari kehidupan di luar seminari yang mingkin terkesan tidak aman.” Dari situ, saya mulai berpikir untuk kembali memurnikan paggilan hidup saya. Apa benar, saya punya kemauan untuk menjadi imam lagi? Atau hanya sekedar ketakutan akan dunia luar yang mungkin gak ‘aman’ untuk diri saya. Entah itu takut gak dapet pekerjaan, takut hidup berkeluarga, takut gak dapat menjadi bapak yang baik bagi anak-anaknya… dan setelah saya berdiam diri selama beberapa hari setelah pembicaraan itu saya tidak merasa salah satu ketakutan itu ada dalam diri saya, namun saya memutuskan untuk untuk bekerja saat itu. Seiring berjalannya waktu, keinginan saya untuk masuk ke seminari pun memudar… meskipun sangat kecil, panggilan saya untuk menjadi seorang imam tetap ada hingga saat ini.

CH.3 “Takut”

Beberapa bulan terlewati, dan saya merasa kesepian dan tentu saja saya di selimuti oleh ketakutan akan masa depan. “Bagaimana kalau nanti saya gagal ?”, “Bagaimana kalau saya pulang tanpa gelar ?”, “Bagaimana kalau saya tidak lulus ?” Semua pertanyaan itu terus berputar di dalam benak saya tiada henti sepanjang hari. Saya sangat takut. Terkadang, ketika kita sudah terbiasa untuk berjuang sendiri dengan kekuatan sendiri, kita, khusus nya saya, lupa dengan orang-orang yang berada di sekitar kita. Saat itu, saya sedang dihantam dengan begitu banyaknya tugas dan bahan ujian. Saya menjadi sangat sibuk dan hanya fokus ke hal-hal tersebut. Semua usaha saya hanya tercurah demi keberhasilan saya untuk mendapatkan nilai yang bagus. Akibatnya saya melupakan apa yang ada di sekitar saya. Fanny akhirnya hanya tersenyum lewat YM ketika saya bercerita panjang lebar tentang ketakutan saya. Dia selalu mendukung saya lewat kata-katanya dan lewat doanya. Suatu kali, saya minta dia untuk mendoakan saya karena saya begitu takut dengan apa yang sedang terjadi. Akhirnya dia menelpon saya lewat skype, dan kita berdoa bersama. Kita selalu melakukan video conference ketika menggunakan skype untuk telpon. Tetapi waktu dia mendoakan saya, saya ingat sekali butiran hangat keluar dari sudut mata saya. Saya tidak cukup kuat untuk menahan tangis dan buru-buru untuk membalikkan webcam yang saya gunakan supaya wajah saya tidak terlihat. Seusainya kita berdoa, dia bilang… “Tadi Dia ada di belakang kamu.” Saya kembali bercucuran air mata karena saya sadar telah meragukan Dia. Rasa takut saya terhadap kenyataan, terhadap masa depan telah membutakan mata hati saya yang seharusny tertuju padaNya. Ketika mata hati kita tidak lagi terfokus padaNya yang ada hanya jiwa kita yang terjerumus kedalam badai kehidupan dan ketakutan. Sadarilah bahwa kita tidak pernah sendiri, ada Dia yang selalu perduli. Seberapa jauh kita dari padaNya, sekalipun Dia tidak pernah melupakan kita… terkadang jalan yang kita lalui mungkin tidak seperti yang kita ingini namun tiba saatnya di mana kita berdiri tegak melawan waktu dan melihat apa yang telah terjadi, kita akan mengerti apa yang Dia inginkan dari pada kita. Mungkin saat itu kita takut, sakit, terluka bahkan sempat ingin menyudahi peran kita di dunia ini tetapi lihatlah apa yang telah Dia perbuat atas kita hingga saat ini kita tetap selamat dan menikmati buahnya.

CH. 2 “Komunitas muda mudi Indonesia pertamaku”

Seorang teman dekat saya, Reyner, mengajak saya untuk pertama kali ke sebuah komunitas muda mudi gabungan Kristen dan Katolik. Di sana saya bertemu dengan teman-teman lainya seperti Lisa yang menjadi kordinator komunitas itu. Adi, dan Ivan yang membantu Lisa dalam melayani komunitas ini. Saat itu, kami membahas topik dari sebuah buku yang berjudul “Purpose Driven Life”. Buku ini sangat menarik. Buku ini di bagi menjadi beberapa bagian dan kita di harapkan untuk membaca buku ini idealnya 1 bagian untuk 1 hari sebagai bahan renungan. Komunitas ini juga kerap kali membahas ayat-ayat dalam kitab suci. Anggota yang satu berbagi pengalaman dengan yang lain. Saling menguatkan dan meneguhkan. Komunitas ini punya arti khusus buat saya ketika saya ikut serta untuk pertama kali.
Tak lama kemudian, beberapa teman menyadari bahwa saya bisa bermain gitar sedikit. Dan, kemudian saya menjadi pemusik di komunitas itu. Ya, untungnya saya pernah beberapa kali di ajak untuk menjadi pemusik di komunitas saya yang dulu di Jakarta, BIG. Buat saya, musik adalah jiwa… nafas untuk kata-kata supaya menjadi hidup dan akhirnya kata-kata itu mampu masuk ke dalam hati kita. Selama saya di BIG, saya belum pernah menjadi pemusik di persekutuan doa. Tawaran pertama saya untuk melayani adalah sebagai usher atau penerima tamu. Tawaran itu datang dari cici Martha. Dia adalah ketua komunitas sekaligus koordinator sel saya. Sesekali saya merasa bosan dan bertanya “Ci, kapan saya mungkin menjadi pemusik di persekutuan doa ?” tetapi cici Martha cuman tersenyum dan tersenyum sambil berkata “Nanti aja tunggu tanggal mainnya” seakan-akan dia sudah tau kapan saya akan menjadi pemusik yang benar. Ci Marta sesekali mengajak saya untuk menjadi pemusik di acara pembinaan alkitab. Banyak yang suka dengan cara saya bermain pada waktu itu, namun tetap saya saya tidak di perkenankan untuk menjadi seorang pemusik di persekutuan doa…”kenapa ?” saya bertanya dalam hati. Hingga akhirnya saya mendapat sebuah surat bahwa saya mendapatkan beasiswa untuk study di Belanda, saya berangkat akhirnya ke Belanda dengan pelayanan terakhir saya sebagai usher dan sempat saya terkadang kesal, kenapa saya tidak menjadi seorang pemusik.
Setibanya saya di Belanda, saya bertemu dengan komunitas muda-mudi lagi, dan saya menjadi pemusik… dan anehnya saya menjadi sadar bahkan sangat sadar kenapa saya tidak diperkenankan untuk menjadi pemusik di persekutuan doa. Alasannya adalah ketaatan. Saya bermain kerap kali hanya untuk kepuasan saya sendiri bukan untuk mengantarkan teman-teman saya ke suasanan di mana kita bertemuTuhan. Saya tidak taat. Yah, akhirnya saya cukup senang dengan mereka yang mengajak saya untuk bermain musik. Bahkan kita pernah 1 kali menciptakan sebuah lagu dan di nyanyikan di persekutuan doa.
Sebuah komunitas, sangat di perlukan untuk menjaga iman dan persatuan kita dengan Tuhan dan sesama. Dengan komunitas, kita tidak lagi sendiri melainkan bersama menghadapi dunia. Komunitas bukan hanya sebuah tempat untuk senang-senang, bukan juga untuk cari pacar, tetapi untuk memahami orang lain, sesama kita yang seiman mau pun yang berbeda kepercayaan. Di komunitas ini saya mengalami sebuah kebersamaan yang cukup indah… mereka tidak lagi teman bagi saya, tetapi saudara dan saudari.

CH. 1 “Langkah pertamaku di Belanda”


Hari ini saya teringat kembali masa-masa pertama kali saya tiba di Negara kincir angina ini… negara Belanda. Waktu itu bulan januari 2008, tepatnya tanggal 23. Saya tiba di sebuah kota kecil yang mungkin hanya terkenal dengan “Philips” dan PSV Eindhoven-nya. Ya, saya ada di Eindhoven. Mereka, penduduk sekitar, menyebutnya kota “buren” atau kota para buruh.

Sesampainya saya di kota ini, saya meletakkan semua tas-tas dan barang bawaan saya. Dan, pergi ke gereja terdekat. Gereja pertama yang saya kunjungi waktu itu adalah Paterskerk. Gereja ini sangat indah dan terletak hanya 10 menit dari rumah saya. Saya masuk ke dalam Paterskerk dan untuk pertama kali nya saya berlutut dan berdoa di negara Belanda. Hati saya berbicara dan di waktu yang sama pun otak saya berputar, bertanya, kenapa ? Kenapa saya ketempat yang mungkin tidak pernah di sentuh oleh khalayak muda-mudi Belanda saat ini… Jawaban yang paling masuk akal pada saat itu adalah : “karena saya bukan pemuda Belanda tetapi Indonesia.” Untuk beberapa saat saya mengheningkan dan menenangkan pikiran dan hati saya di tengah ke heningan gereja itu. Semenit, dua menit ketidak nyamanan kursi kayu dan suhu yang begitu dingin mulai mengganggu diri saya. Hal itu tidak cukup mengganggu pembicaraan saya dengan Sahabat saya. Saat itu, hanya satu gambaran yang tertanam di benak saya. Seorang pria berjubah putih seperti frater mendekati saya, dan memegang punggung saya dan Dia bilang “semuanya akan baik-baik saja.” Pada waktu itu pun, saya mengalami ketakutan dan kesepian. Semuanya seakan sangat nyata, dan sangat menghibur hati saya yang sangat gundah karena ketakutan akibat saya harus keluar dari comfort-zone. Harus hidup sendiri di tengah-tengah suana yang benar-benar baru buat saya. Setelahnya saya selesai berdoa, saya kembali melanjutkan niat saya untuk berkeliling di dalam gereja itu. Saya berjalan mengelilingi dinding gereja dan mengamati setiap sudut gereja yang begitu indah dihiasi patung-patung Santo dan Santa serta ukiran-ukiran yang menyirat banyak arti bak meringkas isi Alkitab. Sesampai nya saya di altar, saya melihat sebuah ruangan kecil. Ruangan itu adalah sakristi dari gereja itu. Di sana saya bertemu dengan seorang pemuda Belanda ? bukan dia adalah orang Polandia. Itu pertama kali saya bertemu dengan Adam, seorang koster gereja itu, yang satu tahun kemudian menjadi saudara angkat saya karena neneknya mengangkat saya sebagai cucunya.

Doa saya sebelum saya menerima beasiswa dari pemerintah Belanda, adalah berupa janji. Janji seorang pemuda yang akan melayani Dia di mana pun dia berada dan menjadi perpanjangan tangan Nya dengan membawa kebahagian di tengah-tengah suasana di mana dia berada. Doa ini mengingatkan tujuan saya, tujuan saya di dunia, bukan hanya di Negara ini. Lalu, saya bertanya ke Adam, siapa yang harus saya hubungi jika saya mau melayani di gereja ini. Saat itu saya tidak begitu tahu apa yang dapat saya lakukan untuk Nya. Tak lama kemudian, Adam memberikan nomor hand-phone dan alamat kantor, mamanya, Elzbieta. Saya di ajak ke bagian atas gereja di sana terletak orgel gereja yang cukup tua namun cukup mengesankan.

Setelah beberapa saat berbincang-bincang dengannya, saya melanjutkan perjalanan saya ke kantor Elzbieta yang terletak sekitar 5 menit dari Paterskerk. Ternyata kantornya terletak di belakang sebuah gereja. Cukup lucu juga karena 2 gereja terletak saling berdekatan satu sama lain. Saya menyempatkan diri untuk masuk ke dalam gereja itu, Catharinakerk namanya. Gereja ini cukup aneh, karena pada saat itu, gereja ini sedang mengadakan “open-house” bagi semua orang untuk melihat isi gereja itu. “Apa gak ada orang yang datang ke gereja ini lagi, atau memang gereja ini adalah gereja yang punya arti sejarah tersendiri ?” tanya saya dalam hati. Langkah saya pertama kali kedalam gereja ini diiringi rasa ketidak nyamanan. Menurut saya, gereja itu seperti layaknya sebuah museum. Tidak ada kehangatan dan kenyamanan yang seharusnya ada di dalam sebuah gereja. Kembali saya meluangkan waktu untuk berbicara dengan seorang Sahabat saya itu. Namun, hati saya tiba-tiba di selimuti rasa kesedihan yang akhirnya membuat saya meneteskan air mata. Gereja itu seperti mengalami kesedihan yang sama dengan saya. Dingin dan sepi, aneh dan … hanya bangunan. Kesedihan itu gak membuat saya pulang ke rumah dan melanjutkan tangis saya untungnya, tetatpi saya menggenapi rencana saya untuk bertemu Elzbieta. Saya tiba di depan pintu hijau tua. Saya menekan bel sambil berharap ini akan menjadi kunjungan yang mengawali pelayanan saya. Seorang wanita setengah baya keluar menghampiri saya “Goede dag” katanya. Wanita itu Elzbieta. Saya menjelaskan untuk beberapa saat maksud dan tujuan saya datang untuk bertemu dia. Lalu, dia cukup terkesan dengan saya. Pada hari minggu saya datang kemabali ke Paterskerk dan Elzbieta memperkenalkan saya dengan pastor di sana dan para akolit di sana. Ya, saya pun menjadi akolit termuda pada saat itu. ^__^