Sunday 19 July 2009

CH. 4 “Panggilan hidup”

Selulusnya saya dari SMU saya melanjutkan study saya ke seminari menengah di Mertoyudan (Magelang). Teman-teman saya banyak bertanya, “Kenapa melanjutkan ke seminari ?” Mungkin aneh bagi mereka untuk tidak menikah dan memilih jalan hidup yang mungkin buat orang awam itu “tidak enak”. Ya, tetapi saya akhirnya masuk seminari pada tahun 2000. Di tempat itu saya belajar banyak hal, mulai dari belajar untuk membagi waktu, dan menjadi pribadi yang seimbang. “SSS” itu adalah semboyan dari seminari Petrus Canisius Mertoyudan. Sanctitas, Sanitas dan Scientia. Setelah dari seminari menengah saya melakukan solisitasi (melamar ke sebuah tarekat) ke MSC (Misionaris Sacrosanctum Cor Iessu). Setelah melewati beberapa wawancara yang harus saya lakukan di Purwokerto, akhirnya saya di nyatakan lulus dan menjadi salah satu dari anggota dari terekat MSC. Kemudian saya berangkat ke Manado untuk menjalani pendidikan imam sebagai pra-novis (pendidikan sebelum menjadi anggota baru). Waktu menjalani pendidikan di Manado, saya sering kali terbebani oleh keadaan orang tua saya… bagai mana tidak, saya masuk ke seminari sebenarnya bukan atas persetujuan orang tua, mungkin orang tua saya memaksakan diri untuk setuju dengan keputusan saya. Sewaktu saya meminta ijin untuk masuk ke seminari menengah, saya sempat berselisih dengan kedua orang tua saya. Ya, tentu saja orang tua saya tidak mengijinkan saya, anak laki-laki pertama dalam keluarga, untuk menjadi seorang imam. Di benak mereka, anak laki-laki pertama harus menjadi penerus keluarga. Tetapi, saya memaksakan kehendak saya untuk masuk ke seminari. Akhirnya orang tua saya setuju, saya ingat sekali waktu itu, papa saya yang angkat bicara terlebih dahulu sedangkan mama saya tak henti-hentinya mengeluarkan air mata... “Terserah kau lah, asalkan kau bahagia, papa dan mama juga bahagia” namun mereka tetap meneteskan air mata.
Gambaran itu ternyata terbawa jelas meskipun saya sudah mau menerima jubah putih untuk menjadi seorang frater. Sering kali, untuk mengkompensasi rasa khawatir saya terhadap mereka, saya menelpon mereka setiap bulannya. Tetapi, ketika itu juga saya menangkap sebuah warna suara yang melukiskan kesedihan meskipun ketika saya bertanya apakah mereka baik-baik saya, mereka menjawab baik-baik saja. Ketika saya harus memutuskan untuk lanjut atau tidak ke tingkat novis dimana saya akan menjadi seorang frater dan menerima kaul sementara, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan ke novis.
Panggilan hidup seseorang adalah panggilan hidupnya bila dia memilih dan mejalaninya dengan suka cita. Panggilan itu tidak hanya menjadi selibater namun panggilan juga bisa berarti menjadi seorang awam yang menikah atau bisa juga tidak menikah… Panggilan hidup seseorang juga bisa merupakan profesinya. Panggilan adalah kehendak Tuhan atas kita. Seorang raja dan seorang tukang sapu mempunyai panggilan yang sama hebat dan sama beratinya di mata Tuhan. Namun demikian panggilan itu tidak semata-mata hanya dari Tuhan dan mutlak. Kita juga di berikan kehendak yang bebas olah Nya untuk memilih. Dalam memilih pun kita perlu memperhatikan banyak aspek. Paling tidak, dari pengalaman saya, saya mendapati panggilan itu di sokong oleh 4 kaki. Kaki yang pertama adalah Tuhan, yang kedua adalah diri kita, yang ketiga adalah orang tua dan yang keempat adalah orang-orang di sekitar kita. Kaki yang pertama lebih kepada kehendak Tuhan. Tuhan memberikan pilihan-pilihan kepada kita, dan Dia selalu memberikan pilihan yang terbaik untuk kita meskipun bukan yang menyenangkan buat kita (pada saat itu). Untuk mengetahui kehendaknya atas diri kita, kita boleh bertanya padaNya. Dia tidak sejauh yang kita pikirkan karena dia hanya sejauh doa. Kaki yang kedua adalah pilihan kita. Kehendak bebas yang di tawarkan oleh Tuhan kepada kita membuat kita mampu memilih jalan hidup kita. Setiap pilihan mempunyai resiko masing-masing. Tidak jarang apa yang kita pilih kerap kali berselisih dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Apa yang kita pilih hanya berdasarkan pertimbangan manusiawi kita. Enak atau tidak enak, nyaman atau tidak nyaman, menguntungkan atau merugikan. Kita mungkin tidak mengerti apa yang tengah terjadi sewaktu kita memilih bahkan tidak mengerti apa yang akan terjadi setelahnya. Kaki yang ketiga adalah dukungan atau restu dari orang tua. Dukungan dan restu dari orang tua sangat penting dalam menjalani sebuah panggilan hidup. Selama 9 bulan, mama mengandung kita dan setelah kita lahir papa mencari nafkah untuk membesarkan kita. Tanpa adanya kerelaan hati dari orang tua apakah kita bisa terus menjalaninya ? Tegakah kita ? Kaki yang keempat adalah orang-orang di sekitar kita. Orang-orang yang mencintai kita, pacar, sahabat, maupun teman-teman kita.
Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan dan memutuskan untuk mundur karena panggilan saya tidak mempunyai kaki yang lengkap. Saya tidak mempunyai kaki yang kedua. Akhirnya saya di panggil oleh romo moderator untuk berbicara dan mengumumkan pengunduran diri saya di misa pagi. Sewaktu nya saya maju, beberapa teman seperjuangan saya Yan (masih menjadi frater di MSC sampai saat ini) dan Antony sempat sedih dan marah ketika saya tidak memberitahukan keputusan saya kepada mereka. Saat itu juga komunitas pra-novis cukup heboh karena saya dikenal sebagai seminarist yang teguh, berpendirian dan tidak mempunyai masalah dalam kerohanian. Namun itulah pilihan saya saat itu. Setibanya saya di Jakarta, saya sempat menyesal karena saya keluar dari seminari dan mencoba mendaftar lagi ke SVD. Namun cece (Cicil) saya menyarakan saya untuk melanjutkan study dulu di Universitas Atmajaya lalu setelah selesai baru kemudian melanjutkan lagi ke seminari. Dengan alasan bila suatu saat nanti klo saya tidak lagi niat menjadi imam, saya masih punya gelar. Saya akhirnya melanjutkan study di Atmajaya. Dan menyelesaikan pendidikan di sana selama 3 tahun. Setelah selesai, saya berbincang-bincang dengan adik saya, Edo. Perbincangan yang cukup dalam. “Do, kalau gue masuk seminari lagi gimana ?” kata saya. Dia hanya berkata “Ya, terserah lu. Emang panggilan lu masih ke sana ?” Lalu tentu saja saya menjawab “Ya, iya.” Setelah itu kita terdiam sekitar 5 menit. Setelah itu Edo mulai mengangkat pembicaraan yang tentu saja membuat saya cukup berpikir kembali… “Kalau buat gue, paggilan itu bukan seperti ada suara dalam hati lu… seperti ada yang manggil-manggil lu untuk masuk seminari, tapi lebih kepada hal yang lebih dari pada itu. Selain itu juga percuma kalau lu mau masuk seminari cuman karena ‘pelarian’ dari kehidupan di luar seminari yang mingkin terkesan tidak aman.” Dari situ, saya mulai berpikir untuk kembali memurnikan paggilan hidup saya. Apa benar, saya punya kemauan untuk menjadi imam lagi? Atau hanya sekedar ketakutan akan dunia luar yang mungkin gak ‘aman’ untuk diri saya. Entah itu takut gak dapet pekerjaan, takut hidup berkeluarga, takut gak dapat menjadi bapak yang baik bagi anak-anaknya… dan setelah saya berdiam diri selama beberapa hari setelah pembicaraan itu saya tidak merasa salah satu ketakutan itu ada dalam diri saya, namun saya memutuskan untuk untuk bekerja saat itu. Seiring berjalannya waktu, keinginan saya untuk masuk ke seminari pun memudar… meskipun sangat kecil, panggilan saya untuk menjadi seorang imam tetap ada hingga saat ini.

No comments:

Post a Comment