Sunday 19 July 2009

CH. 1 “Langkah pertamaku di Belanda”


Hari ini saya teringat kembali masa-masa pertama kali saya tiba di Negara kincir angina ini… negara Belanda. Waktu itu bulan januari 2008, tepatnya tanggal 23. Saya tiba di sebuah kota kecil yang mungkin hanya terkenal dengan “Philips” dan PSV Eindhoven-nya. Ya, saya ada di Eindhoven. Mereka, penduduk sekitar, menyebutnya kota “buren” atau kota para buruh.

Sesampainya saya di kota ini, saya meletakkan semua tas-tas dan barang bawaan saya. Dan, pergi ke gereja terdekat. Gereja pertama yang saya kunjungi waktu itu adalah Paterskerk. Gereja ini sangat indah dan terletak hanya 10 menit dari rumah saya. Saya masuk ke dalam Paterskerk dan untuk pertama kali nya saya berlutut dan berdoa di negara Belanda. Hati saya berbicara dan di waktu yang sama pun otak saya berputar, bertanya, kenapa ? Kenapa saya ketempat yang mungkin tidak pernah di sentuh oleh khalayak muda-mudi Belanda saat ini… Jawaban yang paling masuk akal pada saat itu adalah : “karena saya bukan pemuda Belanda tetapi Indonesia.” Untuk beberapa saat saya mengheningkan dan menenangkan pikiran dan hati saya di tengah ke heningan gereja itu. Semenit, dua menit ketidak nyamanan kursi kayu dan suhu yang begitu dingin mulai mengganggu diri saya. Hal itu tidak cukup mengganggu pembicaraan saya dengan Sahabat saya. Saat itu, hanya satu gambaran yang tertanam di benak saya. Seorang pria berjubah putih seperti frater mendekati saya, dan memegang punggung saya dan Dia bilang “semuanya akan baik-baik saja.” Pada waktu itu pun, saya mengalami ketakutan dan kesepian. Semuanya seakan sangat nyata, dan sangat menghibur hati saya yang sangat gundah karena ketakutan akibat saya harus keluar dari comfort-zone. Harus hidup sendiri di tengah-tengah suana yang benar-benar baru buat saya. Setelahnya saya selesai berdoa, saya kembali melanjutkan niat saya untuk berkeliling di dalam gereja itu. Saya berjalan mengelilingi dinding gereja dan mengamati setiap sudut gereja yang begitu indah dihiasi patung-patung Santo dan Santa serta ukiran-ukiran yang menyirat banyak arti bak meringkas isi Alkitab. Sesampai nya saya di altar, saya melihat sebuah ruangan kecil. Ruangan itu adalah sakristi dari gereja itu. Di sana saya bertemu dengan seorang pemuda Belanda ? bukan dia adalah orang Polandia. Itu pertama kali saya bertemu dengan Adam, seorang koster gereja itu, yang satu tahun kemudian menjadi saudara angkat saya karena neneknya mengangkat saya sebagai cucunya.

Doa saya sebelum saya menerima beasiswa dari pemerintah Belanda, adalah berupa janji. Janji seorang pemuda yang akan melayani Dia di mana pun dia berada dan menjadi perpanjangan tangan Nya dengan membawa kebahagian di tengah-tengah suasana di mana dia berada. Doa ini mengingatkan tujuan saya, tujuan saya di dunia, bukan hanya di Negara ini. Lalu, saya bertanya ke Adam, siapa yang harus saya hubungi jika saya mau melayani di gereja ini. Saat itu saya tidak begitu tahu apa yang dapat saya lakukan untuk Nya. Tak lama kemudian, Adam memberikan nomor hand-phone dan alamat kantor, mamanya, Elzbieta. Saya di ajak ke bagian atas gereja di sana terletak orgel gereja yang cukup tua namun cukup mengesankan.

Setelah beberapa saat berbincang-bincang dengannya, saya melanjutkan perjalanan saya ke kantor Elzbieta yang terletak sekitar 5 menit dari Paterskerk. Ternyata kantornya terletak di belakang sebuah gereja. Cukup lucu juga karena 2 gereja terletak saling berdekatan satu sama lain. Saya menyempatkan diri untuk masuk ke dalam gereja itu, Catharinakerk namanya. Gereja ini cukup aneh, karena pada saat itu, gereja ini sedang mengadakan “open-house” bagi semua orang untuk melihat isi gereja itu. “Apa gak ada orang yang datang ke gereja ini lagi, atau memang gereja ini adalah gereja yang punya arti sejarah tersendiri ?” tanya saya dalam hati. Langkah saya pertama kali kedalam gereja ini diiringi rasa ketidak nyamanan. Menurut saya, gereja itu seperti layaknya sebuah museum. Tidak ada kehangatan dan kenyamanan yang seharusnya ada di dalam sebuah gereja. Kembali saya meluangkan waktu untuk berbicara dengan seorang Sahabat saya itu. Namun, hati saya tiba-tiba di selimuti rasa kesedihan yang akhirnya membuat saya meneteskan air mata. Gereja itu seperti mengalami kesedihan yang sama dengan saya. Dingin dan sepi, aneh dan … hanya bangunan. Kesedihan itu gak membuat saya pulang ke rumah dan melanjutkan tangis saya untungnya, tetatpi saya menggenapi rencana saya untuk bertemu Elzbieta. Saya tiba di depan pintu hijau tua. Saya menekan bel sambil berharap ini akan menjadi kunjungan yang mengawali pelayanan saya. Seorang wanita setengah baya keluar menghampiri saya “Goede dag” katanya. Wanita itu Elzbieta. Saya menjelaskan untuk beberapa saat maksud dan tujuan saya datang untuk bertemu dia. Lalu, dia cukup terkesan dengan saya. Pada hari minggu saya datang kemabali ke Paterskerk dan Elzbieta memperkenalkan saya dengan pastor di sana dan para akolit di sana. Ya, saya pun menjadi akolit termuda pada saat itu. ^__^

No comments:

Post a Comment